Rihatayya adalah istilah Bahasa daerah selayar (dewata). Rihata adalah dua buah gua yaitu terdapat pada sepanjang batu karang yang berbujur utara selatan panjangnya kurang lebih150 meter terletak di pinggir pantai Dusun Bansiang. Dua buah batu ini, satu buah menghadap ke barat di namakan Rihata bahinea (bahine=Perempuan) dan saty biah menhadap ke timur di namakan Rihata Bura`nea (Bura`ne=laki-laki). Rihatayya adalah sebuah kisah yang mengandung beberapa keanehan dan keganjilan.
Diantaranya, bila setiap tahunnya tidak ada yang datang berkunjung dengan membawa beras kuning, sirih,pinang serta bahan makanan selengkapnya, maka setiap orang yang langgar dihadapnnya akan terkena sakit perut, muntah-muntah, demam. Demi kian pula para pelaut, untuk menjaga keselamatan diri dalam melaut maka mereka tidak boleh meludah, buang air besar dam kecil apabila melewati rihata ini. Keanehan lain bahwa didalam rihata Bahinea terdapat air tawar yang mengalir yang menurut Riwayat bahwa air tersebut adalah cucuran air mata Isah. Di Rihata Bura`nea tidak terdapat aliran air tawar sedangkan mereka berdampingan menhadap ke muara Sungai Bansiang. Kisah ini tidak di ketahui kapan terjadinya tetapi sudah turun temurun orang menceritakannya sejak abad ke XVIII.
Pada zaman dahulu kala, dibagian muara Sungai Bansiang sejauh kira-kira 1 km, ada sebuah dusun bernama Kuwanraya. Didusun tersebut hanya terdapat beberapa rumah keluarga. Awal bahwa di dusun kuwanraya ada seorang anak tiri bernama isah yang berusia kurang lebih 14 tahun yang hidup bersama ayah kandung dan ibu tirinya. Menurut ruwayar, nama ayah dan ibu tirinya tidak di ketahui. Pekerjaan ayahnya menjala ikan di laut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Pada suatu ketika, ayah isah meninggalkan rumah pergi melaut dan menjala ikan. Ibu tiri isah sibuk di rumah mengatur rumah tangga tampa mempedulikan anak anak tirinya. Ibu tiri sedemikian rupa giatnya melaksanakan urusan dapurnya.
Kesibukannya mengandung hikmah dan latar belakan. Sebelum suaminya kembali dari laut, sang ibu tiri telah menyiapkan endapan air nasi yang di ambil dari periuk diberikan kepada isah untuk di makan. Dengan rasa takut kepada ibu tirinya yang selalu bermuka muram, yang tersedia untuknya terpaksa ia makan sambil air matanya berlinang-linang.
Pada saat Tengah hari suaminya kembali di rumah. Ibu tiri menyuruh sang anak tiri meninggalkan tempat makan dan segera menyonsong sang suami dan melihat hasil tangkapan suaminya. Sang ayah mendapati anaknya berdiri di dekat tiang rumah sambil menangis tersedu-sedu karena kelaparan. Kemudian ia meyiapkan hidangan unutuk ia makan bersama-sama dengan suaminya. Suatu hal yang merisaukan sementara isah tinggal berdiri dengan air mata bercucuran karena kelaparan. Ia memandang dengan mata yang di kelip-kelipkan kearah ayah dan ibu tirinya sedang makan enak-enak. Bagi ayah dan tidak berpikir olehnya melihat keadaan anaknya seperti biasa-biasa saja. Adanya anggapan ayah yang baik ini karena melihat suasana malam harinya baik-baik saja dan mereka makan bersama-sama dengan ramah Tamah. Demikian suasana bila sang ayah pergi melaut.
Makin hari kian menjadi-jadi suasana yang demikian hingga menimbulkan kecurigaan sang ayah. Sang ayah mencari cara untuk mengetahui apa yang terjadi pada diri anaknya hingga suatu hari menjelang dinihari, sang ayah perlahan-lahan beranjak dari tempat tidurnya tampa pongetahuan istrinya yang sementara masih tidur dan segera mengambil ja;a dan perlengkapan melaut lainnya sebagaimana biasanya ketika hendak melaut. Sang ayah bukannya pergi melaut, melainkan naik keloteng untuk mengintai apa yang terjadi di rumah ketika ia tidak berada di rumah. Ia mengintai dari atas di tempat tersembunyi duduk terpaku bernafas sekali-kali. Ibu tiri isah bangun dari tempat tidurnya sudah tidak menemukan suaminya. Namun ia yakin bahwa telah pergi melaut. Sang istri sangat memikirkan suaminya yang begitu cepat pergi melaut. Karenanya ia segera ia melaksanakan urusan dapurnya. Setelah urusan dapur selesai, bergegas ia memberi makan anak tirinya, Isah di khawatirkan suaminya cepat kembali di laut. Isah di beri makan dengan air endapan nasi bercampur kerak nasi. Sang ayah yang mengintai diatas loteng tidak bertahan lagi air matanya melihat kekejaman istrinya terhadap anaknya. Perlahan suami keluar dari persebunyiannya dan turun pelan-pelan. Segera ia menemui istrinya di dapur dan berkata: aku sial melaut hari ini, jangan ikan didapat jala pun tidak basah. Sang suami tetap berlaku seperti biasa meskipun sudah mengetahui perlakuan istrinya yang kejam terhadap anaknya.
Keesokan harinya, sang suami mempersiapkan jalanya dan perlengkpannya untuk pergi ke laut menjala ikan. Namun kali ini ia mengajak anaknya, isah bersama-sama pergi melaut. Ia meninggalkan istrinya sendirian di rumah. Dalam perjalanan isah digendong oleh ayahnya dengan cucuran air mata yang tak henti, baik isah maupun sang ayah oleh kesedian akibat perlakuan yang kejam sang istri terhadap anaknya. Tak lama kemudian sampailah mereka mereka ke tempat yang di tuju. Mereka istirahat di atas batu karang di pinggir henpasan laut. Dalam peristirahatan ayah dan anak ini di liputi renungan kesedihan. Tangis osah semakin menjadi-jadi sementara dalam pelukan ayahnya. Kemudian sang ayah untuk turun ke laut menjala ikan. Sebelumnya ayah menitipkan sebuah ciuman dan berkata, Oh anakku, kini enkau sudah terlepas dari kejaman ibu tirimu. Semoga enkau mendapat Bahagia kelak. Sang ayah mencium anaknya lagi lalu turun ke laut.
Burung laut berterbangan kesana kemari pertanda banyak ikan di laut. Begitu asyiknya sang ayah menjala ikan, ia terlupa bahwa anaknya di tinggalkan sendirian di atas batu karang peristirahatnya.
Sementara isah yang sedang lapar dan haus tidak bertahan lagi. Ia mengulurkan tangan kepada batu lalu berkata kepada batu: “hai baktu sakti,tolong aku yang sengsarakarena ibu tiri,aku ingin bersamamu. Bukalah mulutmu supaya aku bisa masuk menjadi rihata bersama enkau”. Batu dskti telah mendengar rintihan isah terbuka menantikan isah masuk kedalamnya. Isah menunggu ayahnya untuk mrngucpkan kata terakhirnya. Namun sang ayah tak datang juga dan batu itu pun tertutup kembali. Tiba-tiba langit mendung seakan-akan hujan akan tercurah begitu derasnya kebumi.
Sang ayah baru teringat akan anaknya yang sedang lapar dan ditinggal sendirian. Dengan cepatnya sang ayah menemui anaknya di batu tempat peristirahatannya. Namun malang nasibnya sang ayah tidakmlagi menemukan anaknya di tempat peristirahatannya. Ayah berdiri terdiam sejenak, tiba-tiba ia melihat air berjatuhan dari sela-sela batu. Ayah mendekat dan melihat segumpal rambut. Dengan tidak menyadari diri, tiba-tiba ia melompat memengang rambut itu dan berkata: “anakku, mari anakku, sampai hati enkau meninggalkan ayah”. Rambut yang di pengannya dalam sekejap menhilang lalu terdengarlah suara oleh sang ayah:” Ayah, inilah air mataku bercucuran melalui batu sakti, minumlah untuk menhapus dahagamu.
Air mataku akan akan menjadi kenangan untuk selama-lamanya”. Demikian suara yang di dengar sang ayah, lalu ia mengambil dan meneguk air. Kisah hidup bersama dengan batu sakti yaitu rihataya bahinea. Sang ayah me ninggalkan anaknya,tetapi masih terbayang olehnya apa yang menjadi hambatan bagi untuk kembali bersama dengan istrinya. Dalam perjalanan pulang tiba-tiba turun hujan smentara matahari bersinar dengan teriknya. Terbayang pada air mata anaknya. Ia berdiri sejenak, berpikir untuk tidak melanjutkan perjalannya. Saat itu sang ayah membentang laalu duduk bermunajat: “hai batu sakti, perkenalkanlah aku masuk kedalammu, aku rela bersamamu untuk berdampingan dengan anakku. Matanya tertutup dan di telan oleh batu sakti. Batu ini kemudian dinamakan Rihata Bura`nea dan di sampingnya adalah anaknya, yaitu rihata Bahinea.
Sumber Text : Kumpulan Cerita Rakyat Selayar (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Selayar) Tahun 2015
Sumber Foto : Nur Fitriana Said