Saat perjalanan ke Pulau Selayar, anda berkesempatan melihat langsung proses pembuatan perahu phinisi yang telah tersohor ke berbagai penjuru dunia itu. Lokasinya di Tanah Beru, sekitar 10 kilometer sebelum mencapai Pelabuhan Bira. Selain di Tanah Beru, pembuatan perahu phinisi secara tradisional, terdapat pula di kampung Bira. Jika anda menggunakan kendaraan pribadi ke Selayar dan masih menunggu untuk pemberangkatan kapal fery, menyaksikan aktivitas pembuatan perahau phinisi, akan menjadi pilihan yang mengasyikkan.
Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi, dimana para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut, terutama di Keluharan Tana Beru.
Ketika berada di Pusat Kerajinan Perahu Pinisi di Tana Beru, para pengunjung akan berdecak kagum melihat kepiawaian para pengrajinnya membuat Perahu Pinisi. Mereka mampu membuat perahu yang sangat kokoh dan megah hanya berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari nenek moyang mereka, tanpa menggunakan gambar atau kepustakaan tertulis. Sejarah membuktikan bahwa Perahu Pinisi Nusantara telah berhasil berlayar ke Vancouver Kanada, Amerika Serikat, pada tahun 1986. Oleh karena kepiawaian para pengrajin tersebut, Kabupaten Bulukumba dijuluki sebagai Butta Panrita Lopi, yaitu bumi atau tanah para ahli pembuat Perahu Pinisi.
Pusat Kerajinan Perahu Pinisi terletak di Kelurahan Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Tana Beru sebagai Pusat Kerajinan Perahu Pinisi terletak sekitar 176 kilometer dari Kota Makassar atau 23 kilometer dari Kota Bulukumba. Perjalanan dari Kota Bulukumba ke Tana Beru dapat ditempuh dengan menggunakan mobil pribadi maupun angkutan umum
Pinisi Lamba bermesinPinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia
Sejarah
Kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500an. Menurut[4] naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama sekali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi.
Ritual pembangunan Pinisi
Pembuatan Perahu Pinisi cukup unik, karena proses pembuatannya memadukan keterampilan teknis dengan kekuatan magis. Tahap pertama dimulai dengan penentuan hari baik untuk mencari kayu (bahan baku). Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke-5 dan ke-7 pada bulan yang sedang berjalan. Angka 5 menyimbolkan naparilimai dalle‘na, yang berarti rezeki sudah di tangan, sedangkan angka 7 menyimbolkan natujuangngi dalle‘na, yang berarti selalu mendapat rezeki. Tahap selanjutnya adalah menebang, mengeringkan dan memotong kayu. Kemudian kayu atau bahan baku tersebut dirakit menjadi sebuah perahu dengan memasang lunas, papan, mendempulnya, dan memasang tiang layar. Tahap terakhir adalah peluncuran perahu ke laut.
Tiap-tiap tahap tersebut selalu diadakan upacara-upacara adat tertentu. Sebelum perahu Pinisi diluncurkan ke laut, terlebih dahulu dilaksanakan upacara maccera lopi (mensucikan perahu) yang ditandai dengan pemyembelihan binatang. Jika Perahu Pinisi itu berbobot kurang dari 100 ton, maka binatang yang disembelih adalah seekor kambing, dan jika bobotnya lebih dari 100 ton, maka binatang yang disembelih adalah seekor sapi.
Pada saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual tertentu ( Sumber : wisatasulawesi.wordpress.com ).