Pada masa lalu, Kabupaten Kepulauan Selayar diyakini menjadi rute dagang dari dan ke Moluccan ( Maluku ) yang merupakan pusat rempah-rempah. Di Pulau Selayar, para pedagang singgah untuk mengisi perbekalan sambil menunggu musim yang baik untuk berlayar.
Dari keberadaan Selayar sebagai pusat aktivitas pelayaran ini pula muncul nama Selayar. Nama Selayar berasal dari kata cedaya (bahasa Sanskerta) yang berarti satu layar. Konon banyak perahu satu layar yang singgah di pulau Selayar pada zaman dahulu. Adapun kata cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada abad 14.
Ditulis bahwa pada pertengahan abad 14, ketika Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara, Selayar digolongkan dalam Nusantara, yaitu pulau-pulau lain di luar Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti bahwa armada Gajah Mada atau Laksamana Nala pernah singgah di pulau ini.
Selayar kerap pula disebut dengan nama Tana Doang yang berarti tanah tempat berdoa. Pada masa lalu, Pulau Selayar menjadi tempat berdoa bagi para pelaut yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke barat maupun ke timur untuk keselamatan pelayaran mereka.
Dalam kitab hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa (abad 17), Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga karena letaknya yang strategis sebagai tempat transit baik untuk pelayaran menuju ke timur dan ke barat. Disebutkan dalam naskah itu bahwa bagi orang yang berlayar dari Makassar ke Selayar, Malaka, dan Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus orang.
Pada tahun 1739, Belanda mulai memerintah di Selayar. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau Controleur.
Untuk peninggalan zaman Belanda sendiri, yang tersisa saat ini adalah rumah jabatan Bupati, Lembaga Pemasyarakatan Kepulauan Selayar dan kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kepulauan Selayar. Di ketiga bangunan tersebut, arsitektur Belanda sangat jelas terlihat, mulai dari arsitektur bangunan sampai ornamen – ornamen yang terdapat pada bangunan tersebut.
Jika suatu waktu anda mengunjungi Kepulauan Selayar, sisa – sisa keberadaan Belanda dapat anda lihat di ketiga bangunan itu. Rumah jabatan Bupati tepat berada di sebelah timur Lapangan Pemuda Benteng, demikian pula kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Adapaun Lembaga Pemsyarakatan berada di sisi utara Lapangan Pemuda.
Selain bangunan, dalam hal tatanan pemerintaha, Belanda juka meninggalkan jejaknya. Setelah diperintah oleh warga Belanda sampai keresidenan ke 87, Kepala pemerintahan ke 88 kemudian dijabat oleh orang Selayar, yakni Moehammad Oepoe Patta Boendoe. Saat itu telah masuk penjajahan Jepang sehingga jabatan residen telah berganti menjadi Guntjo Sodai, pada tahun 1942.
Di zaman Kolonial Belanda, jabatan pemerintahan di bawah keresidenan adalah Reganschappen. Reganschappen saat itu adalah wilayah setingkat kecamatan yang dikepalai oleh pribumi bergelar “Opu”. Dan kalau memang demikian, maka setidak-tidaknya ada sepuluh Reganschappen di Selayar kala itu, antara lain: Reganschappen Gantarang, Reganschappen Tanete, Reganschappen Buki, Reganschappen Laiyolo, Reganschappen Barang-Barang dan Reganschappen Bontobangun.
Di bawah Regaschappen ada kepala pemerintahan dengan gelar Opu Lolo, Balegau dan Gallarang. Pada tanggal 29 November 1945 (19 Hari setelah Insiden Hotel Yamato di Surabaya) pukul 06.45 sekumpulan pemuda dari beberapa kelompok dengan jumlah sekitar 200 orang yang dipimpin oleh seorang pemuda bekas Heiho bernama Rauf Rahman memasuki kantor polisi kolonial (sekarang kantor PD. Berdikari). Para pemuda ini mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda yang di kemudian hari tanggal ini dijadikan tanggal Hari Jadi Kabupaten Kepulauan Selayar.
Adapun tahun Hari Jadi diambil dari tahun masuknya Agama Islam di Kabupaten Kepulauan Selayar yang dibawa oleh Datuk Ribandang, yang ditandai dengan masuk Islamnya Raja Gantarang, Pangali Patta Radja, yang kemudian bernama Sultan Alauddin, pemberian Datuk Ribandang.